Perbedaan open source dengan closed source

Open source 

secara teknis dapat diartikan sebagai perangkat lunak yang menyediakan kode sumber (source code) untuk dimodifikasi dan didistribusikan kepada public (lsalah satu contoh aplikasi/software “open souce” adala linux). yg berbeda dengan “closed source” yg mempunyai hak paten dari pembuatnya sehingga tidak bisa untuk di modifikasi seperti Windows, dan Macintosh. Ada beberapa lisensi aplikasi open source (AOS) yang dikoordinasikan oleh “Open Source Initiative”. Kesuksesan AOS bukan disebabkan oleh karena penyediaan kode sumber yang secara bebas dapat dimodifikasi dan disitribusikan, akan tetapi lebih disebabkan oleh tumbuh dan berkembangnya komunitas yang memiliki minat yang sama dalam mengembangkan aplikasi tersebut. .

- apa perbedaan open source dan closed source??


Kita bisa melihat perbedaannya dalam contoh-contoh aplikasinya “Linux, Windows, dan Macintosh”

Mulanya, Linux yang pertama kali dikembangkan oleh Linus Torvalds adalah nama kernel atau inti dari sistem operasi. Kini, jika Anda menyebut Linux, praktis Anda mengarah kepada sebuah sistem operasi yang lengkap. Kalau kita membeli CD Linux, artinya kita membeli sebuah sistem operasi plus aplikasi office, multimedia, dan Internet. Jadi, sebagai sistem operasi, Linux mirip dengan MS Windows dan Apple Macintosh. Lalu apa bedanya? Jika Anda membeli CD MS Windows yang asli, Anda baru mendapatkan sebuah sistem operasi, belum termasuk aplikasi MS Office, pengolah gambar Photoshop, server email Exchange, dan lain-lain.Tapi, jika Anda membeli CD-CD bajakan, barangkali harga dan isinya tidak beda jauh dengan Linux. Lalu apa lagi bedanya? Lisensi Linux adalah non-proprietary. Istilah lain yang berhubungan dengan lisensi Linux adalah open source, free software, dan GPL (GNU General Public License). Arti semuanya hampir sama. Anda bebas menggunakan, mempelajari dan mengembangkan (karena tersedia source code-nya), serta menyebarluaskan, untuk apa saja, termasuk untuk instalasi nuklir. Windows, Macintosh, dan program proprietary adalah closed source, non free software, dan pasti non-GPL. Free di sini bermakna kebebasan atau kemerdekaan. Boleh gratis tapi tidak harus bebas. Lisensi software tidak hanya GPL. Ada lebih dari 50 jenis lisensi open source atau free software.

keunggulan Aplikasi Open Source

  • Didesain untuk dikembangkan secara modular. Seseorang yang ingin berkontribusi dapat menambahkan suatu fungsi tanpa atau sedikit ketergantungan terhadap bagian/fungsi yang lain.
  • Dokumentasi yang lengkap. Dokumentasi yang lengkap ditujukan untuk pengembang yang baru dapat dengan cepat mempelajari struktur aplikasi. Tanpa dokumentasi yang lengkap, seseorang akan terbuang waktunya hanya untuk mempelajari struktur aplikasi.
  • Transparansi disain dan proses pengembangan. Setiap orang dapat berkontribusi karena disain dan arah pengembangan selalu dikomunikasikan ke publik melalui web dan mailing list. Kode sumber selalu tersedia pada saat proses pengembangan melalui CVS (concurrent versning system) dan bukan pada saat dirilis.
  • Timi inti yang modular dan transparan. Tim inti pengembang dipilih oleh komunitas berdasarkan kontribusinya. Apabila sudah tidak memiliki kontribusi yang signifikan maka dengan sendirinya akan keluar dari anggota tim inti dan digantikan oleh yang lain yang memiliki kontribusi yang lebih banyak.
Manfaat apa yg diberikan “open source software” dalam masyarakat ??

  1. memberikan alternative pilihan perangkat lunak (software) desktop yg murah
  2. meningkatkan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang teknologi informasi
  3. memperkecil kesenjangan teknologi informasi
  4. meningkatkan akses informasi masyarakat
  5. meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan dan memanfaatkan informasi teknologi (kreativitas tidak dibatasi oleh software yg ada).
  6. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia bidang teknologi informasi (di perguruan tinggi, sekolah, dan masyarakat)
aplikasi “open source” mempunyai masa depan??

penyediaan biaya software yg murah dan berstandar kualitas bagus akan menjadi pemicu naiknya tingkat penggunaan aplikasi open source di Indonesia, tidak hanya itu untuk memajukan program ini, juga dibutuhkan campur tangan dan dukungan pemerintah dalam hal penyediaan aplikasi-aplikasi open source tersebut, karena “buat apa beli sebuah barang yg mahal, kalau ada barang berkualitas sama yg lebih murah dan bahkan gratis"

PENGGUNAAN SOFTWARE OPEN SOURCE

sistem operasi pada ''open source" hampir mirip sama dengan sistem operasi pada "closed source", ,hanya bentuk sistem maupun aplikasi pada "open source" lebih menonjol dengan gambar (GUI) sedangkan sistem maupun aplikasi pada "closed source" lebih menonjol dengan berbasis text,,misalnya :
     
    #open source#                                                #closed source#
-libreoffice text documenr                             -ms. word
-libreoffice spreadsheet                                 -ms. excel
-libreoffice presentation                                 -ms. powerpoint
-libreoffice drawing                                          -ms. picture
-libreoffice database                                        -ms. acces

itu contoh kecil dari perbedaan nama maupun bentuk aplikasi tersebut,, 
Jika ingin mulai mencoba, bisa menggunakan software Open Souce di atas MS Windows (OpenOffice, Gimp, Firefox dll). Jika mau total pakai Open Souce, gunakan sistem operasi Linux, yang varian-nya sangat banyak. Mulai dari Fedora Core, SuSe, Mandriva, Ubuntu, Knoppix dan lain-lain. Secara prinsip semua sama, hanya beda kemasan dan aksesorisnya saja. Anda akan menikmati software yang handal, cepat, bebas virus dan tidak membajak. Oke deh, kapan2 saya lanjutin lagi.



Read Full...

DEVILROSE(SRAGEN punkrock oldskool)

DEVILROSE(SRAGEN punkrock oldskool)



Nico / Froogy - Bassist
TAMA / UCIL - GUITARIST / VOCAL
Benjoes Autiss - Drummer













        General Info
  • Genre: Punk / Rock / Rockabilly
    Location Sragen, Indonesia
    Website http://www.myspace.com/devilrose11
    Type of Label Indie

    Bio

  • a small band who wants to speak out his heart to this country which was colonized by the corruptor. We come from the minority who are always against the establishment and try to work our hearts and bercurah pour into our songs. Do not underestimate us .. we do not want to oppressed minorities
Read Full...

Loud 'N' Clear ROCKLENTINE

"Loud 'n Clear ROCKLENTINE"
13 Feb 2011 - Joglo Sriwedari
start at 10am - 06pm
ticket: IDR.8000
pre-sale: IDR.5000

more info: 
085 740 125 600 (qiu qiu jemeh)
085 728 295 274 (gundul)
Read Full...

KALUNG JELANGKUNG




      Kiki dan beberapa orang temannya mengisi liburan ke sebuah kampong dimana mereka bebas bermain apa saja disana, berenang di kali, mengembala kerbau dll. 
      Namun suatu hari, Kiki dkk bermain Jailangkung disebuah bangunan tua. 
      Ditengah keasyikan main jalangkung, tiba-tiba Jalangkung bergerak-gerak keras sambil bersuara dan menyebut bahwa namanya Yanti yang mati terbunuh oleh pacarnya yang tidak bertanggungjawab atas kehamilannya 
Panik dan takut, mereka lari meninggalkan bangunan tua dan di perjalanan jalan menuju pulang ke tempat penginapan, teman-temannya menakut-nakuti Kiki dengan kejadian Jalangkung tadi, mereka berlari meninggalkan Kiki sendirian, yang akhirnya Kiki tersesat ke sebuah kuburan. 
       Di sana Kiki menemukan sebuah kalung, Kiki kemudian memakai kalung tersebut
Pulang ke Jakarta Kiki jatuh sakit, dan selalu mengigau menyebut-nyebut nama Yanti. Kedua orang tua Kiki khawatir, semua dokter terbaik dipanggil namun tak satu dokter pun yang bisa menemukan penyakit Kiki yang sebenarnya. Akhirnya mereka meminta jasa seorang dukun namun sang dukun pun kesulitan untuk menyembuhkan Kiki. Kiki minta diantar ke kuburan yang ada di kampung.                                                          Sesampai disana, Kiki sadar setelah ia mengembalikan kalung tersebut. Sebaliknya dukun justru yang kerasukan. Salah satu kawan Kiki, Benny, mengambil kalung yang sudah dikembalikan Kiki di atas kuburan, juga ikut kerasukan. Roh Yanti masuk kedalam tubuh Benny
 Berhasilkah mereka mengusir Yanti dari tubuh Benny?
Jenis Film :
Horror/comedy
Produser :
Hm Firman Bintang
Produksi :
Bic Production
Durasi :
80
Pemain :
Zaky Zimah
Soraya Larasati
Rozi Mahally
Remon
Munajat Raditia 
Sutradara :
Koya Pagayo 
Penulis :
Ule Sulaeman
Read Full...

Street Punk, Kehidupan atau Pelarian ?!

 
 
Sejak Marjinal bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, dari hari ke hari kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat dalam program workshop. Selain membuka workshop cukil kayu dan musik, Marjinal mengusahakan distro sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan di beranda, menyimpan pelbagai produk Taringbabi; dari kaos, kaset, pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang tamu yang selalu riuh itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak yang berbarik sebagai ikon Taringbabi.

Para punker biasanya datang secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan, melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi bersama. Mike memberitahu accord atau nada sebuah lagu, dan menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses belajar dan mengajar, secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.

Sebagian besar anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu ekonomi orangtua. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng, Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar, Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako untuk ibu mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.
Jika sekilas memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang berambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk dengan pelbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.
Bagi anak-anak jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang menyegarkan kehidupan dan hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan Indonesia yang masih memarjinalkan anak-anak miskin kota, seperti yang didedahkan lirik lagu Banyak Dari Teman-temanku berikut ini:
Banyak dari teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan melihatnya, disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / / Diantara bising kereta / Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik matahari, disana tak sederhana / Tersangkut tajamnya pagar berduri / / Pelajar yang putus sekolah / Perempuan dan pekerja kasar / Dibawah beban yang dipikulnya, mereka tak sederhana / Terjebak pilihan yang berbahaya / / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi / Tapi semuanya sirna oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala / Disunat dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa / Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik tirai yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan tersungkur di kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian
***
Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak jalanan.
Pada saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.
Kehidupan anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya.
Sekurang-kurangnya, ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya– berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.
Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.
Negara memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.
Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.
Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.
Jalan raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.
Sebuah kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
Soleh Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John, Jimi, Tomi dan semacamnya.
Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.
***
Apakah mereka memahami apa itu punk?
Mike: Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di jalan… Mereka punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam. Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran orang yang sudah dimapankan — yang menganggap negatif karena melihat penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang lebih penting adalah nilai-nilai punk dalam prakteknya berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia mereka, ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran — ketika anak-anak yang lain kan sekolah, pulang ke rumah, bermain, latihan ini dan itu, les piano … Mereka hidup di jalanan mencari uang untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan digaruk trantib. Digertak atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam posisi bertahan hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa humor. Buat gue itu penting, manusiawi banget!
Tapi, di sisi lain Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong . Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.
Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka, dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu, seperti yang terjadi berikut ini:
Pada suatu siang yang gerah, empat anak-muda (belasan tahun) berjalan oleng di depan squat Marjinal. Mereka sudah beberapa kali mondar-mandir, dan seorang diantaranya berwajah pucat, matanya terpejam, dalam keadaan mabuk berat, sehingga menjadi tontonan warga. Ketika ditanya tujuannya hendak ke mana, mereka cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil meringis.
Anak-anak kampung Setiabudi (berusia belasan tahun) pun mengarak mereka ke pinggir kali. Segala atribut punk yang melekat di tubuh mereka dilemparkan ke kali, sambil diteriaki,”Pecundang! Pecundang! Pecundang!” Setelah itu, mengusir mereka.
Kejadian serupa, akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Bahkan ada aksi kriminal, seperti kasus perkosaan yang terjadi di terowongan Casablanca yang dilakukan segerombolan orang yang beratribut punk, yang diceritakan Kodok (personil Bombardir). “Begitu mendengar kejadian itu, gue bareng warga menyisir beberapa tempat yang biasanya jadi tempat nongkrong mereka,” ujar Kodok dengan nada tinggi.
Squat Marjinal juga sering kedatangan para orangtua yang mencari keberadaan putrinya — (seperti Nia dari Citayam). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan para ibu tentang putra-putri mereka yang berperilaku “aneh” di mata mereka. “Rambut diwarnai merah, sering diluar rumah, dan malas sekolah, maunya pergi jauh ke Jawa padahal gak megang duit” kata seorang ibu dari Pondok Kopi.
Sampai saat tulisan ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua menanyakan segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal. Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.
Berbeda dengan gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk jalanan yang beken juga di sono disebut street punk adalah sebuah gerakan budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya dominan yang dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di Inggris pada tahun 1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth Thatcher, dari Partai Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat liberal, memberi peluang kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi uang) tetapi di sisi lain mengabaikan kelas pekerja, sehingga pengangguran pun merajalela. Ketika pabrik-pabrik menutup lowongan pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya dengan alasan efesiensi, masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai tempat mencari nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi karnaval dan musik.
Sebagai sub-kultur Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain, dari novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih cerobong asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap untuk menggenjot produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu merasa tersiksa bekerja sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di tempat-tempat yang kumuh tidak berpenerangan. Mereka akhirnya memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi! Mereka lari dari panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka menggunakan jalanan di London sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan. Dan terbebas dari eksploitasi.
Bagi seorang punk, jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang, di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian. Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape) dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less, menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!
Melihat fenomena gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka bukan punk! Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah hippies! Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom). ***
Read Full...
 
Powered By Blogger
© Grunge Theme Copyright by SRAGEN STREETRIOT | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks